Jumat, 10 September 2010

Kebenaran Abadi versi Buddha Dhamma

Kebenaran Abadi yang perlu kita direnungi

Postby LAUZART » Thu May 10, 2007 4:57 pm
Kalau kita membuka kitab yang manapun juga tentang permulaan dari agama-agama di dunia ini, maka kita akan menemukan satu hal yang sama dari para penulis tersebut. Mereka semua sependapat, bahwa agama-agama di dunia ini muncul disebabkan oleh perasaan takut. Manusia purba misalnya takut terhadap guntur dan kilat, gelap gulita dan angin ribut serta banyak lagi hal-hal lain yang mereka tidak mengerti atau yang berada di luar kemampuan mereka untuk menguasainya. Kemudian untuk menghindari malapetaka dan bahaya yang mungkin dapat menimpa diri mereka, biasanya mereka melakukan pemujaan-pemujaan, memberikan sesajian dan hal-hal lain lagi yang mereka anggap dapat dipakai untuk menghindarkan diri dari malapetaka dan bahaya tersebut.

Setelah itu, dengan meningkatnya intelek dan pengetahuan manusia, dari takut kepada kekuatan-kekuatan alam tersebut di atas berubah menjadi takut kepada sesuatu yang lebih halus, yang mereka tak dapat menerangkan dengan menggunakan rasio. Dengan berubahnya pandangan ini, sekarang manusia memandang rendah kepada agama-agama yang takut dan memuja-muja kekuatan alam, dewa-dewa dan Makhluk-Makhluk Agung yang mereka anggap sebagai tahyul dan tidak masuk akal. Selanjutnya ketakutan manusia beralih kepada sesuatu yang lebih halus lagi dan takut itu sekarang ditujukan kepada penderitaan yang tidak dapat ditanggulangi dengan hanya menggunakan materi (benda-benda). Manusia itu cemas dan takut terhadap penderitaan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan kelahiran, usia tua, sakit dan mati, kekecewaan dan putus harapan yang timbul dari keinginan yang tidak tercapai, dari marah dan kebodohan yang tidak dapat diobati dengan harta yang bagaimana besar sekalipun.

Pada lebih dari 25 abad yang lalu para cerdik-pandai dan ahli pikir yang hidup di India menganggap pemujaan-pemujaan kepada Makhluk-Makhluk Agung sebagai sesuatu yang tidak berguna lagi, dan mereka lebih menitik-beratkan untuk mengatasi kelahiran, usia tua, sakit dan mati dengan jalan menyingkirkan lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kebodohan). Pada waktu itulah muncul di dunia ini satu agama baru yang hingga kini dikenal sebagai Buddha-Dhamma, yaitu suatu agama dengan tingkat lebih tinggi, yang menggunakan pandangan terang untuk mengatasi kelahiran, usia tua, sakit dan mati. Cara ini dapat menyingkirkan dengan sempurna kekotoran-kekotoran batin manusia. Dengan ditemukannya jalan yang praktis untuk mengatasi dukkha (penderitaan), manusia telah diberikan obat yang manjur untuk mengobati dengan sempurna rasa takut yang timbul dari kebodohan.

Buddha-Dhamma berarti Ajaran Sang Buddha, yaitu orang yang telah mencapai Kesadaran Agung. Orang yang tahu hakikat sesungguhnya dari semua benda, Orang yang tahu tentang hidup dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup sehingga dapat menghadapi benda-benda dan kejadian-kejadian dengan penuh kebijaksanaan dan pengertian. Buddha-Dhamma adalah Ajaran yang berlandaskan kecerdasan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, logika, dan bertujuan untuk menghancurkan sebab-musabab dari dukkha (penderitaan). Sekarang kita dapat mengerti, mengapa pemujaan-pemujaan terhadap benda-benda keramat dengan melakukan upacara-upacara kebaktian, memberikan sesajian-sesajian atau mengucapkan doa-doa bukanlah Agama Buddha yang sesungguhnya. Sebab oleh Sang Buddha hal-hal yang tersebut di atas itu dianggap tidak esensial. Sang Buddha juga tidak membenarkan anggapan orang pada saat itu, bahwa semua benda diciptakan oleh Makhluk-Makhluk Agung dan bahwa tiap-tiap bintang dihuni oleh dewa-dewa. Dalam hubungan ini Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut:

“Pengertian kecakapan dan kemampuan merupakan syarat-syarat baik untuk mencapai sukses besar dan merupakan tanda-tanda baik yang tidak dapat disangkal. Ini tidak terpengaruh oleh jalannya benda-benda di langit. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari sifat-sifat tersebut dengan sempurna melampaui pekerjaan-pekerjaan dari para astroloog yang hanya sibuk melakukan perhitungan-perhitungan tentang perbintangan.” Selanjutnya: “Kalau sekiranya air dari sungai (seperti sungai Gangga) dapat dipakai untuk mencuci bersih nafsu-nafsu keinginan dan penderitaan, sudah pasti segala kura-kura, kepiting, ikan dan udang yang hidup dalam air yang dianggap suci, telah lama terbebas dari nafsu-nafsu keinginan dan penderitaan mereka. Dan kalau sekiranya benar seorang manusia dapat menyingkirkan penderitaan dengan memberikan sesajian, bersujud dan berdoa, pastilah pada saat ini tidak ada lagi manusia yang masih menderita di dunia ini. Tetapi karena terbukti bahwa manusia masih tetap dapat terkena penderitaan justru pada saat-saat sedang berlutut, bersujud dan melakukan upacara kebaktian, maka jelaslah bahwa hal-hal tersebut di atas bukanlah jalan yang baik untuk memperoleh kebebasan.”

Untuk memperoleh kebebasan, kita harus menyelidiki terlebih dulu benda-benda untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari benda-benda itu. Selanjutnya kita harus mengambil sikap yang sesuai dengan kenyataan itu. Inilah Ajaran Sang Buddha yang selalu harus dicamkan dalam pikiran kita.

Buddha-Dhamma tidak ada sangkut pautnya dengan berlutut dan memuja benda-benda yang seram-seram atau melakukan persembahan-persembahan air suci dan hal-hal lain lagi (termasuk juga pemujaan-pemujaan roh-roh dan Makhluk-Makhluk Agung). Sebaliknya Agama Buddha tergantung kepada pikiran sehat dan pandangan terang. Buddha-Dhamma tidak menuntut agar kita harus menerka atau mengira, tetapi menuntut agar kita harus berbuat sesuai dengan apa yang menurut pandangan kita adalah benar dan baik, dan janganlah hanya menggantungkan diri kepada ucapan-ucapan orang lain. Kalau misalnya ada orang datang memberitahukan sesuatu kepada Saudara, janganlah hendaknya ucapan-ucapannya itu dipercaya begitu saja tanpa pemeriksaan dan penyelidikan. Dalam hal ini kita harus mendengar dengan baik apa yang dikatakan, dan kemudian periksalah kata-kata itu. Kalau kita anggap apa yang dikatakan itu masuk akal, maka terimalah hal itu dengan syarat dan selanjutnya kita harus membuat penyelidikan sendiri (ehipassiko). Inilah ciri khas Buddha-Dhamma yang sangat berbeda dengan agama-agama lain di dunia ini.

Sekarang marilah kita meninjau Buddha-Dhamma dari berbagai sudut. Jelas akan terlihat, bahwa ditinjau dari sudut ini ia akan memperlihatkan corak tertentu dan ditinjau dari sudut lain ia akan memperlihatkan corak lain pula. Biasanya orang melihat agama dari sudut yang salah dan dalam hal ini Buddha-Dhamma pun tidak merupakan pengecualian. Orang-orang dengan pandangan hidup yang berbeda-beda akan mempunyai penilaian yang berbeda-beda pula terhadap Buddha-Dhamma. Secara tidak sadar kita cenderung untuk menaruh kepercayaan yang kuat terhadap penilaian kita sendiri. Menurut hemat kita sesuatu itu benar kalau dilihat dari tingkat pengertian kita sendiri dan dari pandangan berdasarkan pengalaman sendiri hal itu memang demikian adanya. Akibatnya ialah Kesunyataan tidaklah merupakan pengertian yang sama untuk orang-orang yang berbeda-beda itu. Mereka menyelami kesunyataan pada batas-batas yang tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengalaman masing-masing. Pada umumnya orang tidak akan menerima sebagai sesuatu yang benar, kalau menurut pendapatnya hal itu berada di luar jangkauan pikiran, pengetahuan dan pengertiannya. Mungkin saja ia seolah-olah menerima pandangan orang lain sebagai “benar”, tetapi untuk dirinya sendiri ia tahu, bahwa hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang “benar” seperti apa yang ia lihat sendiri. Konsepsi tentang “benar” dari tiap-tiap orang dapat berubah dan berkembang hari demi hari sesuai dengan meningkatnya tingkat kecerdasan, pengetahuan dan pengertiannya, sehingga akhirnya orang akan sampai kepada Kesunyataan (Kebenaran Mutlak). Dalam hal ini kita mempunyai cara masing-masing untuk memeriksa dan menyelidiki sebelum kita sampai pada tingkat keyakinan yang kuat. Dengan demikian kalau Buddha-Dhamma diteropong dari sudut yang berbeda-beda, maka hasilnya pun pasti akan berbeda pula.

Seperti diterangkan di atas, Buddha-Dhamma adalah Ajaran yang praktis untuk membebaskan manusia dari dukkha (penderitaan) dengan jalan menyelami dan mengerti dengan seksama keadaan sesungguhnya dari benda-benda. Tetapi harus diakui pula, bahwa dalam tiap-tiap kitab agama terdapat unsur-unsur yang ditambahkan belakangan oleh orang-orang tertentu dan Tipitaka dari umat Buddha pun tidak merupakan suatu pengecualian. Orang-orang dari abad-abad setelah Sang Buddha mangkat telah menambah bagian-bagian tertentu pada Tipitaka berdasarkan kebiasaan dan kebutuhan pada saat-saat itu, sebagian dimaksud untuk memperoleh kepercayaan khalayak ramai dan sebagian lagi didorong oleh kesujudan yang berlebih-lebihan. Tetapi menyedihkan sekali, bahwa tata-cara dalam upacara-upacara kebaktian yang telah ditambahkan dan bercampuran dengan Dhamma telah diterima dan dianggap sekarang sebagai Buddha-Dhamma yang sesungguhnya. Sesajian manisan dan buah-buah di hadapan patung Sang Buddha sebagai persembahan kepada “roh” Beliau, seperti juga kita biasa mempersembahkan makanan kepada para bhikkhu sebenarnya tidak sesuai dengan Ajaran dari Sang Buddha sendiri. Namun oleh beberapa golongan hal di atas dianggap sebagai kebiasaan Agama Buddha yang benar dan mereka mengajarkan hal itu kepada umatnya, dan dengan tertib pula melaksanakannya sendiri. Tatacara seperti ini telah demikian banyaknya sehingga pada waktu sekarang ini menutupi samasekali Buddha-Dhamma yang sesungguhnya dan menyeleweng dari tujuan utamanya.
 
LAUZART
Pandangan Pertama Pandangan Pertama
 
Posts: 12
Joined: Thu May 10, 2007 4:32 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar