Jumat, 10 September 2010

Kerudung Yang Terkoyak. Bg. 1

Gulshan Fatima; Kerudung Yang Terkoyak. Bg. 1

Ini adalah kesaksian Gulshan Fatima, puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad melalui puterinya Fatima.
Tulisan ini merupakan sebuah buku berjudul THE TORN VEIL atau KERUDUNG YANG TERKOYAK, diterbitkan oleh Marshal Paperblacks.
Naskah asli: Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw; disebarkan oleh Rainy di Indonesia Faith Freedom International.org.
Naskah asli dihasilkan dari alat scanner, jadi ada kemungkinan terdapat kata-kata yang aneh. saya telah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaikinya, dan menambahkan warna untuk memperindah pembacaan. Selamat membaca, dan ucapan terima kasih saya kepada Rainy.
Penjalabaja
[Perhatian. Kata Tuhan dalam artikel ini  ditulis sebagaimana naskah aslinya, yang  diartikan sebagai Elohim / God atau Ilah dalam pengertian agama Islam. Dalam Islam: Allah adalah nama dan Tuhan adalah titel, Alkitab Indonesia menulis sebaliknya. Terjemahan yang tepat untuk nama Pencipta manusia dan univers ialah YAHWEH, dan jabatan-Nya ialah Elohim / God / Ilah. The God = Al-Ilah = Allah. Penjalabaja]
Susunan per bab sbb:
1. Ke Mekkah
2. Naik Haji
3. Air Kehidupan
4. Pesta Kawin
5. Getirnya Kematian
6. Mobil Ayah
7. Kemasyhuran
8. Alkitab
9. Baptisan
10. Hubungan Persaudaraan
11. Terperangkap
12. Godaan
13. Lilin Yang Menyala
14. Bersaksi
15. Penutup
Bab 1. Ke Mekkah [Latar belakang keluarga, berobat ke London, didikan ayah]
Dalam keadaan yang biasa, tidak akan terbit keinginan dalam hatiku untuk mengunjungi Inggris pada musim semi tahun 1966 itu. Saya, Gulshan Fatima, yang adalah puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad melalui puterinya Fatima. Sepanjang masa hidupku selama ini menjalani suatu kehidupan yang sunyi dan tersendiri di dalam sebuah rumah di Punyab, Pakistan. Keadaan seperti ini bukanlah merupakan satu-satunya alasan kenapa saya dibesarkan dibagian rumah yang terpisah (purdah) sejak berusia 7 tahun, menaati ajaran Islam Shiah Orthodoks, tapi juga karena saya adalah seorang yang lumpuh dan bahkan tidak sanggup meninggalkan kamarku sendiri tanpa dibantu. Saya mengenakan kerudung untuk menutupi wajahku dari pandangan para pria, karena hal ini hanya diperbolehkan bagi kaum keluargaku yang dekat, misalnya ayah, kedua kakak lelaki dan pamanku Bagian terlama dari masa empat belas tahun pertama waktu awal hidupku yang suram, dibatasi oleh dinding-dinding vang mengelilingi halaman rumah kami yang luas di Jhang, kira¬kira 450 km dari Lahore dan dinding-dinding ini merupakan pembatas gerak dan pandangku.
Ayahlah yang membawaku ke lnggris walaupun beliau sendiri memandang rendah orang-orang Inggris karena mereka menyembah tiga Elohim dan bukannya Allah Yang Maha Esa. Malah beliau tidak memperbolehkan saya mempelajari bahasa kafir itu waktu saya diajar oleh guruku Razia, karena takut jangan sampai saya tercemar oleh dosa dan dapat men jauhkan saya dan iman kepercayaan kami. Walaupun demikian beliau tokh membawa saya ke Inggris setelah kami mengeluarkan banyak biaya dan usaha pengobatan dokter yang terbaik.
Beliau melakukan hal ini karena adanya dorongan kasih sayang serta keprihatinannya yang begitu besar untuk kebahagiaanku di masa datang. Namun, waktu kami mendarat di lapangan terbang Heathrow pada awal April itu, betapa kami tidak menyadari akan datangnya kesulitan serta kesedihan yang bakal menimpa keluarga kami. Yang aneh kemudian ialah, saya, anak lumpuh yang dinilai dan dianggap paling lemah dari antara anak-anak ayah, pada akhirnya malah menjadi yang terkuat diantara semua kami serta menjadi batu karang yang menghancurkan semua yang telah beliau pelihara dan jaga dengan penuh kasih sayang. Bahkan sesudah saya dewasa ini, dengan memejamkan mataku, dapat muncul satu gambaran di depanku yaitu ayahku, Aba-Jan tercinta, begitu tinggi, kurus, mengenakan jubah hitam yang dijahit rapih berleher panjang dihiasi kancing-kancing emas diatas celana longgar dan memakai ikat kepala putih, dijalin dengan sutera biru.
Kenanganku terhadap beliau muncul sama halnya dulu beliau begitu sering masuk kekamarku untuk mengajar saya tentang agama kami. Saya teringat ketika beliau berdiri disisi tempat tidurku yang ditempatkan berseberangan dengan tempat paling suci bagi kami yaitu Kaabah yang menurut kisah-kisahnya dibangun oleh Nabi Ibrahim [Abraham] dan dipugar oleh Nabi Muhammad. Ayah mengambil Al Qur’an suci dari rak penyimpanannya ditempat yang paling tinggi letaknya didalam kamarku karena tidak diperbolehkan menempatkan sesuatu barang lain lebih tinggi dari Al Qur’an. Pertama-tama beliau akan mencium kain sutera penutup yang berwarna hijau seraya mengucapkan “Bismillah i-Rahman-ir Rahim (saya memuliakannya dalam nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).” Lalu beliau akan membuka tutup sutera hijau tapi sebelumnya beliau mengambil air wudhu dan dengan khidmat melaksanakan pencucian menurut tata cara agama yang perlu dilakukan sebelum menyentuh atau membawa kitah suci tersebut. Beliau mengulangi lagi ucapan Bismillah, kemudian menempatkan Al Qur’an itu di atas sebuah tempat khusus berbentuk huruf X, menyentuhnya dengan ujung-ujung jarinya. Beliau duduk sedemikian caranya sehingga sambil bersandar dikursi, saya dapat memandang ke Kitab itu. Sebelumnya sayapun harus sudah melaksanakan wudhu dengan bantuan pembantu wanitaku. Dengan telunjuknya ayah menelusuri huruf-huruf suci bertulisan Arab dekoratip dan saya, yang ingin sekali menyenangkan hati beliau, menguianginya mengikuti beliau membaca Al Fatiha.
Pembukaan ini adalah kata-kata yang mengikat erat seluruh umat Islam dimanapun mereka berada.
“Puji bagi Allah, Tuhan  Pencipta. Maha Pengasih. Maha Penyayang, Raja dihari Penghakiman ! *) Engkau sendirilah vang kami sembah dan padaMu sendirilah kami memohon doa meminta pertolongan. Tunjukkanlah kami kearah jalan yang lurus. Jalan bagi mereka yang Engkau kasihi, bukannya bagi mereka yang Engkau murkai atau bagi mereka yang murtad”.
Hari ini kami membaca Sura Ali Imran:
“Ya Allah! Tiada Tuhan selain Dia Yang Hidup dan Kekal”. “Ia telah mewahyukan kepadamu Kitab berisi kebenaran yang mengukuhkan kitah-kitab suci vang mendahuluinya: karena la telah mewahyukan Taurat dan Injil sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk membedakan vang baik dan yang jahat”
*) Lihat catatan di atas.

Saya menjalani tahapan hidup sehagaimana yang ditempuh oleh seriap kanak-kanak Islam sewaktu mereka dibesarkan dalam keluarga orthodoks sejak awal masa kanak-kanak, membaca Al Qur’an suci dalam tulisan Arab. Kami umat Islam memahami bahwa kitab tersebut tidak boleh diterjemahkan, tidak seperti halnya buku yang lain tanpa mengalami kehilangan pengertiannya vang sebenarnya oleh karena nilainya yang keramat. Ketika saya hampir menyelesaikan pembacaannya untuk pertama kalinya, sekitar umur 7 tahun. Yang merupakan umur vang dinilai mulai memperlihatkan gejala kewaspadaan maka diadakan suatu jamuan vang kami namakan “amin” dari Al Qur’an suci dimana anggota-anggota keluarga, kawan-kawan serta para tetangga diundang. Di bagian tengah halaman terbuka di bungalow kami, para pria duduk ditempat yang dipisahkan dari para wanita oleh sebuah tirai pemisah, disitulah guru agama (mullah) akan mengucapkan doa vang menandakan sampainya saya pada suatu tahap baru yang penting dalam hidup ini dan pada saat itu para wanita yang duduk dibagian dalam dari halaman itu akan menghentikan bisik-bisik antara mereka untuk mengikuti upacara tersebut.
Sekarang kami telah sampai pada akhir pembacaan Sura itu, lalu ayahku memandangku dengan senyum tersungging dibibirnya: “Kau telah melakukannya dengan baik, Beiti (anak perempuan kecil),” katanya
Sekarang jawablah pertanyaan-pertanyaan ini :
‘Dimanakah Allah?’

Dengan malu-malu saya mengulangi pelajaran vang telah saya ketahui dengan baik :
‘Allah ada dimana-mana’
‘Apakah Allah mengetahui akan segala tindak tandukmu di dunia ?’
Ya. Allah tahu akan segala tindak tanduk yang saya lakukan didunia, mau yang baik demikian pula yang jahat’.
‘Apa yang telah Allah lakukan bagimu?

‘Allah telah menciptakan saya, begitu pula seluruh dunia. Ia mencintai saya dan membuatku senang. la akan memherikan pahala bagiku di sorga bagi semua tingkah laku saya yang baik dan menghukumku dalam neraka bagi semua perbuatanku yang jahat’.
‘Bagaimana caranya engkau memperoleh cintanya Allah ?’
‘Saya dapat memperoleh cinta kasih Allah dengan penyerahan penuh pada kehendakNya serta mematuhi perintah¬perintahNya’.

`Bagaimana engkau dapat mengetahui kehendak dan perintah – perintah Allah?”
‘Saya dapat mengetahui kehendak dan perintah Allah dari Al Qur’an suci dan juga Hadits dari Nabi kita Muhammad (kiranya damai dan berkat Allah menyertainya).
“Bagus sekali,”
kata ayah.
“Sekarang apakah ada sesuatu yang ingin kau ketahui’?”
“Ya, ayah; katakanlah mengapa Islam lebih baik dari agama lainnya?”

Saya menanyakan hal ini bukan karena saya mempunyai pengetahuan tentang agama lain tapi karena saya ingin mendengar sendiri dari ayahku penjelasan tentang agama kami. Jawaban ayah jelas dan tegas.
‘Gulshan, saya mau engkau mengingat akan hal ini. Agama kita lehih besar dari agama lainnya karena:
Pertama, kemenangan Allah adalah Muhammad yang membawa berita terakhir dari bagi umat manusla dan tidak lagi diperlukan nabi lain sesudahnya.
Kedua, Muhammad adalah sahabat Allah. Ia menghancurkan semua berhala dan semua orang diubahnya dari penyembah berhala menjadi penganut agama Islam.
Ketiga, Allah mengaruniakan Al Qur’ an kepada Muhammad setelah semua kitab suci lainnya. Ini adalah Firman Tuhan [Elohim] yang terakhir dan kita harus mematuhinya. Semua tulisan lainnya tidak lengkap.”

Saya mendengarkan penjelasan beliau yang membentuk tulisan sendiri dalam pikiran dan hatiku. Jika masih ada waktu, saya masih meminta beliau menjelaskan kepadaku tentang gambar yang tergantung dikamarku.
Bagaimana rasanya menunaikan ibadah Haji dikota suci Mekkah yang merupakan magnit kearah mana setiap umat Islam berkiblat sewaktu berdoa lima kali sehari? Didalam kotaku, kamipun berkiblat kesana, sewaktu Muazzin mengumandangkan azan dari kubah masjid. Suara tersebut memantul sepanjang jalan-jalan mengatasi keributan lalu-lintas dan bazaar serta memasuki jendela kami yang dipasangkan gorden, balk diwaktu fajar, tengah hari, sore serta malam hari memanggil umat yang setia untuk berdoa dengan Allah `Maha Besar’. Tidak ada Tuhan [Elohim] selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!” Ayah memberi penjelasan tentang semua ini. Beliau telah dua kali menunaikan Ibadah Haji. Sekali sendirian dan kami berikutnya bersama ibu. Bagi setiap umat Islam merupakan kewajiban untuk menunaikannya sekurang-¬kurangnya sekali seumur hidup atau lebih asal mampu. Menunaikan ibadah haji adalah Rukun Islam ke lima, yang mempersatukan berjuta-juta umat Islam dari berbagai negara yang berbeda, serta memberi keyakinan terhadap kesinambungan bagi iman kami.
`Apakah saya akan ke Mekkah, ayah?’ tanyaku.
Beliau tertawa seraya membungkuk mencium keningku. `Engkau akan kesana, Gulshan kecil, apabila kau sudah lebih besar dan barangkali…..’ Ayah tidak menyelesaikan kalimat tersebut, namun saya mengerti bahwa beliau hendak mengatakan….. `apabila doa kita untukmu telah dijawab’.
Dengan berpedoman pada perintah-perintah ini, saya belajar berbakti kepada Allah, terikat dengan agamaku serta tradisinya. memiliki perasaan bangga yang menyala-nyala terhadap gans keturunan nenek moyangku sejak nabi Muhammad melalui menantunya Ali, dengan memahami martabat ayahku yang bukan hanya merupakan kepala keluarga tapi juga sebagai keturunan nabi, seorang sayed dan seorang Shah. Beliau juga adalah seorang Pir, pemimpin agama serta seorang tuan tanah yang memiiiki tanah luas dipedalaman dan sebuah bungalow yang luas dipinggiran kota kediaman kami.
Saya mulai memahami mengapa keluarga kami begitu disegani, baik oleh para pemuka agama (mullah) atau maulvi yang datang bertanya kepada ayah masalah keagamaan yang tidak dimengertinya. Sambil mengenangkan kembali semuanya, kini saya dapat melihat akan adanya suatu maksud vang terkandung selama masa saya terkungkung begitu lama seumpama kuncup bunga mawar dipekarangan kami yang dipeiihara begitu baik oleh tukang kebun.
Namaku Gulshan, yang dalam bahasa Urdu artinya ”tempat bunga-bunga berkembang”, yaitu ”taman.” Keadaan saya malah merupakan sebuah tanaman yang sakit-sakitan untuk dapat menyandang nama seperti itu, juga dipelihara dengan penuh kasih oleh ayahku. Beliau mencintai kami semua, Safdar Shah, Alim Shah. Anis Bibi, Samina dan saya sendiri. Walaupun beliau kecewa karena waktu lahir ternyata saya seorang perempuan, kemudian waktu berumur 6 bulan menjadi lumpuh karena terserang penyakit typhus, namun ayah tetap mencintaiku malah kurasakan melebihi kasihnya terhadap saudara-saudaraku yang lain. Bukankah ibuku pada saat-saat terakhir hayat dipembaringan kematiannya mengajukan permintaan kepada ayah untuk memelihara saya?
‘Saya memohon kepadamu Sah-Ji, janganlah kawin lagi demi si Gulshan kecil’, pinta ibu sambil menghembuskan nafas yang terakhir. Beliau ingin melindungiku, karena kehadiran seorang ibu tiri dengan anak-anaknya akan menyebabkan hak warisan bagi anak perempuan dari istri pertama akan berkurang. ‘Tambahan pula mereka dapat memperlakukannya dengan buruk jika anak perempuan itu sakit-sakitan, apalagi kalau sampai tidak kawin. Telah bertahun-tahun lamanya sejak ayah berjanji pada ibu dan beliau tetap menepatinya walaupun ayah hidup disuatu lingkungan dimana seorang pria diizinkan beristri sampai empat orang, jika ia cukup kaya untuk memperlakukan masing-masing istrinya dengan adil sesuai Al Qur’ an.
Keadaan inilah yang merupakan pola hidupku sampai waktu saya mengunjungi Inggris pada usia 14 tahun Secara terselubung, keadaan ini berangsur-angsur mengubah segala sesuatu, tersusun menjadi gerakan yang merupakan mata rantai yang membawa dampak yang tidak terduga. Tentu saja saya tidak merasakan firasat bahwa hal ini akan terjadi pada waktu saya menunggu dalam sebuah kamar hotel di London pada hari ketiga sejak kami tiba disana dengan ditemani oleh para pembantuku Salima dan Sema. Waktu itu kami menantikan keputusan seorang dokter spesialis, seorang Inggris yang direkomendasikan kepada ayahku, ketika beliau mencari-cari pengobatan bagiku di Pakistan. Dokter ini akan menetapkan sekali dan untuk selamanya tontang masa depanku.
Jika saya dapat disembuhkan dari penyakit yang telah melumpuhkan bagian kiri tubuhku sejak bayi, maka sava akan bebas untuk menikah dengan sepupuku yang telah dipertunangkan dengan saya sejak berusia 3 bulan dan sekarang sedang menunggu-nunggu di Multan Punjab. Jika tidak sembuh, maka pertunanganku akan diputuskan dan perasaan maluku akan lebih besar lagi dibandingkan dengan keadaan bila dikawinkan lalu diceraikan kembali. Kami mendengar bunyi langkah mendekat. Salima dan Sema berlompatan berdiri dan dengan gugup mengatur dopattanya yang panjang berbentuk seperti selendang. Salima menarik gaunku sampai ke wajahku dan saya sendirl berbaring diatas tempat tidurku. Saya menggigil bukan karena kedinginan. Malah terpaksa saya mengatupkan gigiku agar berhenti gemeretak.
Pintu terbuka dan ayah masuk bersama dokter. `Selamat pagi’, sapanya dengan suara yang amat menyenangkan dan sopan. Saya tidak dapat melihat wajah dokter David tersebut, namun rasanya beliau adalah seorang yang berwibawa dan terpelajar. Tangan-tangannya yang kokoh mengangkat gaunku keatas lalu melakukan pengujian pada lengan kiriku yang lemas, sesudah itu pada kakiku yang sudah tidak berdaya.
‘Tidak ada obat untuk sakit ini kecuali doa’, kata dokter David kepada ayahku. Rasanya tidak terdengar ada ucapan yang salah pada kata akhirnya yang lemah itu. Sambil berbaring di dipan terdengar olehku suara dokter Inggris yang asing itu menyebut nama Allah. Saya bingung. Bagaimana gerangan ia mengetahui tentang Allah? Dan cara-caranya yang baik dan simpatik saya merasakan bahwa beliau sedang membangkitkan harapan kami terhadap kesembuhanku, malah ia mengajarkan kepada kami cara berdoa.
Ayah mengantarkannya sampai kepintu. Ketika kembali beliau berkata: `Alangkah baiknya orang Inggris itu mengajari kita caranya berdoa. Salima membalikkan dopatt aku seraya membantuku duduk. `Ayah, apakah beliau tidak dapat membuat keadaanku menjadi tebih baik?. Saya tidak dapat menahan suaraku agar tidak terdengar gemetar. Air mata menumpuk di pelupuk mataku. Ayah mengusap tanganku yang tidak berdaya. Katanya dengan cepat: ‘Hanya ada satu jalan lagi sekarang. Mari kita mengetuk pintu sorga. Kita akan ke Mekkah sesuar rencana kita. Allah akan mendengar doa-doa kita dan kita masih dapat pulang dengan perasaan syukur.’ Beliau tersenyum kepadaku dan saya berusaha untuk tersenyum kembali.
Kesedihanku sama besarnya dengan kesedihannya namun beliau tidak berputus asa. Pada suaranya terdengar adanya harapan baru. “Tentu saja di Rumah Allah atau pada mata air Zam-zam, mata air kesembuhan, bukankah kita akan memperoleh apa yang menjadi keinginan hati kita?”
Kami masih tinggal di hotel itu beberapa hari dan kesempatan ini digunakan ayah untuk mengurus penerbangan kami ke Jedah, lapangan terbang yang biasa digunakan para jemaah haji untuk menuju Mekkah. Sebelum itu beliau belum mengurus hal ini karena masih menunggu hasii pengobatan yang telah dianjurkan bagiku. Kunjungan ini telah beliau rencanakan sedemikian rupa agar bertepatan dengan masa menjelang bulan haji tahunan, sehingga sesudah peagobatan, kami dapat menuju Mekkah untuk mengucapkan syukur.
Selama waktu penantian mi ayah berkesempatan mengunjungi kawan-kawan masyarakat Pakistan atau sebaliknya mereka datang mengunjungi beliau. Biasanya para wanita dari keluarga-keluarga tersebut akan mengunjungi saya. Tapi saya merasa malu dengan keadaanku serta tidak terbiasa menemui tamu-tamu asing dirumah sehingga hanya sedikit dari mereka yang datang mengetuk pintu kamarku.
Siapakah yang suka melihat lengan yang layu, kulit yang menghitam berkeriput dan lemah lunglai serta jari-jarinya terjalin bersama dengan otot sehingga bentuknya seperti selai? Pada usia dimana kawan-kawan sebayaku mulai berangan-¬angan tentang waktu akan mengenakan gaun pengantin berwarna merah dengan sulaman emas, kemudian berlalan¬-jalan mengenakan perhiasan dengan membawa mas kawin yang bagus kerumah suaminya, maka keadaanku sebaliknya sedang menghadapi masa depan yang sunyi, terputus dari hubungan dengan kawan-kawan sebayaku. Suatu makhluk non manusia, tidak akan pernah sembuh, menjadi perempuan yang sempurna ditudungi dengan kerudung yang memalukan.
Tempat kami terletak pada tingkat dua hotel itu, kamarnya menyenangkan persis disebelah kamar ayah. Ruangan itu beralaskan permadani tebal dan mempunyai kamarmandi sendiri. Disampmg merawatku serta mencuci pakaian kami. Salima dan Sema yang tidur dikamarku secara bergantian duduk menjaga dan melayani kebutuhanku. Hampir tidak ada tugas lain untuk mereka kerjakan, namun sambil membaca buku- ¬buku. melaksanakan sholat lima waktu, jam rasanya berjalan cukup cepat karena disamping memberi makan seorang yang cacat selalu membutuhkan waktu yang iebih lama. Saya pernah mendengarkan keduanya berkasak-¬kusuk menggelikan. Sesekali mereka menyelinap ke lobby bawah, namun terlalu takut untuk keluar sendirian. Mereka merasa puas dengan melewatkan waktu-waktunya separti itu, berkesempatan melihat dunia luar melalui jendela dan melaporkan kepadaku apa yang mereka lihat. Reaksinya polos sebagaimana layaknya gadis-gadis desa Pakistan dan hal ini membuat saya tertawa.
`Oh, lihat kota yang indah ini’, kata Salima. ‘Banyak yang lalu lalang dan banyak sekali mobil’. Kemudian Sema menjerit. ‘Oh, para wanita tidak mempunyai perasaan malu. Mereka tidak menutupi kakinya. Lelaki dan perempuan berjalan bersama, bergandengan tangan. Mereka berciuman. Oh, mereka langsung ke neraka.
Kami tetah diajarkan tentang peraturan yang ketat tentang tatacara berpakaian serta berperilaku sejak kecil. Kami menutup diri kami dengan sopan dari leher sampai ke pergelangan kaki mengenakan ‘shalwar kameeze’ dari Punjab, jubah longgar dan celana panjang yang ujungnya terkumpul dipergelangan kaki. Di leher kami mengenakan sehelai selendang lebar atau dopatta yang dapat ber-fungsi sebagai penutup kepaia bila diperlukan atau ditarik menutupi wajah dan dengan demikian kamipun dapat menutupi diri memakai syal bila dingin. Jika kami harus keluar maka kami mengenakan burka, sebuah kerudung yang panjang yang tidak tembus pandang menutupi diri kami dari krpala sampai ke tumit, terkumpul menjadi sepotong pelindung kepala yang mempunyai celah didepan untuk keperluan meiihat. Dengan demikian, secara biasa tidak mungkin untuk dapat bercakap-cakap dijalanan serta mengurangi kemampuan, pemakai untuk melihai dan mendengarkan lalu lintas.
Pada waktu itu kami tidak mempertanyakan tentang atura – aturan yang diberikan kepada kami dan tentu saja takut untuk. menentang kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pada kenyataannya kami merasakan bahwa kerudung itu malah merupakan pelindung. Kami dapat melihat ke dunia luar sebagaimana adanya, tapi dunia tidak dapat melihat kami.
Waktu kami menyaksikan bagaimana para wanita di London memamerkan dirinya dengan mengenakan mini skirt yang tidak sopan dimana ujungnya cukup jauh diatas lutut, maka jelas bagi kami bertiga bahwa kota ini merupakan kota yang paling maksiat didunia.
Di negen kami, terutama di kotaku, untuk bercakap-cakap dengan seorang pria yang bukan kerabat dekat ataupun kepada pembantu pria dapat menyebabkan kami dianggap hina. Manfaat ‘purdah’ secara menyeluruh tentu saja sebagai pelindung kehormatan keluarga. Tidak boleh terlihat adanya gejala atau noda sedikitpun yang mencurigakan melekat pada diri para puteri keluarga Islam. Hukuman terhadap kesembronoan dalam hal ini bisa fatal.
Tiga kali dalam sehari seorang pelayan mengantarkan makanan dengan menggunakan rak dorong. Pembantu akan mengambil dari pelayan itu di depan pintu. Kadang-kadang seorang pembantu wanita menyertainya, diwaktu mana saya akan menutup mataku agar tidak melihat kaki-kakinya. Saya mulai merasa bosan dengan makanan-makanan hotel itu. Tiap hari ayah memesan masakan ayam bagi kami karena inilah yang halal, daging yang diperkenankan, dipotong mengikuti tatacara yang diperbolehkan oleh agama.
Babi merupakan daging yang haram dan dilarang, bahkan untuk menyebut kata ‘babi’ saja dapat menyebabkan mulut seseorang menjadi najis. Sampai sekarang saya masih mengenakan kata Punyabi “barta” yang berarti ‘barang luar’ jika berbicara tentang binatang itu. Jadi, dapat dibayangkan betapa kuatnya pengaruh hasil didikan dasar sejak kecil. Setiap daging yang lainpun dapat dicurigai bahwa mungkin dapat dimasak memakai minyak babi. Sayur-sayuran dihidangkan bersama ayam ditambah pelezatnya, es krim. Minuman kami Coca Cola dan cukup banyak persediaan di dalam kamar.
Saya mengharapkan kiranya muncul masakan memakai bumbu `kari’ atau `kebab’ namun sia-sia saja, begitu juga buah-buahan misalnya buah persik atau mangga dan pepohonan di halaman rumahku.
Ayah membantu membangkitkan kegembiraanku dengan membawa saya berkeliling ke luar- sebentar. 2 atau 3 kali. Sekali saya diajak berkeliling sekitar hotel dan sekali bersama kedua pembantuku memakai taksi. Beliau memberikan penjelasan padaku tentang kenapa orang-orang Inggris berbeda dengan kami ialah :
“Negeri ini adalah sebuah negeri Kristen. Mereka percaya kepada nabi Isa, Yeshua Ha Mashiah sebagai Anak Elohim’.
Tentu saja mereka salah, karena Allah tidak pernah kawin dan bagaimana mungkin Allah beranak? Tetapi mereka juga memiliki sebuah kitab suci sebagaimana halnya dengan kita Umat Islam dan umat Kristen mendasarkan imannya pada kuab suci yang sama itu. Hal ini merupakan teka-teki bagiku. Kenapa kita mempunyai dasar kitab suci yang sama namun perbedaannya begitu banyak?”
Mereka bebas melakukan banyak hal, sedangkan tidak demikian dengan kita,” kata ayah. ‘Mereka bebas makan daging babi serta minum minuman keras tidak ada pembatasan antara pria dan wanita. Mereka hidup bersama tanpa nikah dan bila anak-anaknva dewasa mereka tidak menghormati orang – orang tuanya.Namun mereka orang-orang baik, sangat tepat waktu serta memiliki prinsip – prinsip yang baik. Bila berjanji mereka menepatinya, tidak seperti orang Asia.”
Ayah, berpengalaman dan terpandang dalam bidang perdagangan. Beliau selalu berhubungan dengan orang-orang asing dalam mengekspor katun yang ditanamnya di Pakistan. ‘Kita dapat saja berbeda agama dengan mereka, namun mereka merupakan orang-orang yang simpatik bila bekerjasama serta memililai perasaan perikemanusiaan,” kata ayah mengakhiri penjelasannya.
Saya merenungkan kontradiksi tentang orang Inggris ini, bangsa yang memiliki kasih, tinggal di negara yang orang–orangnya lemah lembut. Dimana hujan sering turun dan kitab sucinya memberikan begitu banyak kemerdekaan bagi mereka. Malah kitab suci kami masih mempunyai kaitan dengan kitab sucinya. Apakah sebenarnya kunci perbedaan ini? Bagi seorang gadis berusia 14 tahun, hal ini masih terlalu dalam.
Pertanyaan itu saya hilangkan dalam pikiranku lalu bersiap- siap menyongsong peralanan berikutnya. Diperlukan waktu bertahun-tahun lamanya bagiku sebelum hal ini menjadi jeias dan sesudah menemukan kejelasan itu maka saya tidak dapat menganggap pertanyaan !ersebut sehagai hal yang sepele.
Bersambung ke Bab 2. Naik Haji
Gulshan Esther (Fatimah); Kerudung Yang Terkoyak. Bg. 1 ; Bg. 2 ; Bg. 3 ; Bg. 4 ; Bg. 5 ; Bg.6 ; Bg. 7 ; Bg. 8
Hak cipta dari artikel ini dimiliki oleh penjalabaja.wordpress.com. Artikel ini boleh diperbanyak dengan syarat alamat blog disertakan dengan lengkap dan bukan untuk tujuan komersial. Persiapkan Jalan Bagi Raja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar